#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

Implementasi Moratorium di Kalteng: Antara Harapan dan Realita (Laporan Lingkar Belajar Keadilan Iklim dan Walhi Kalteng)

Moratorium hutan Indonesia yang diawali dengan terbitnya Inpres No. 10 tahun 2011 tentang Penundaan Izin Pemanfaatan Hutan di Hutan Primer dan Lahan Gambut adalah salah satu kebijakan yang ditunggu-tunggu masyarakat sipil yang prihatin atas nasib hutan Indonesia dan kondisi iklim global. Rusaknya hutan akibat laju bisnis ekstraktif dan destruktif tak terkendali seperti pembalakan, tambang, dan perkebunan skala besar telah menimbulkan penderitaan tak terperi, tidak hanya bagi lingkungan itu sendiri, namun lebih-lebih pada masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan yang bergantung sebagian atau sepenuhnya pada hasil hutan untuk kehidupan mereka sehari-hari.

Kompromi ekonomi-politik dan lobi para pengusaha ekstraktif telah membuat kebijakan moratorium yang akan berakhir pada tahun 2013 ini lemah secara substantif. Setelah tertunda berbulan-bulan, kebijakan moratorium keluar dengan impotensi yang terkandung secara inheren jika tujuannya adalah menyelamatkan hutan dan mengurangi emisi. Pertama, ia mengeluarkan ‘hutan alam sekunder’ dari perlindungan, mengecualikan izin-izin yang telah ada sebelumnya (termasuk izin prinsip dan perpanjangannya), restorasi ekosistem dan proyek-proyek pembangunan yang dianggap ‘vital,’ termasuk proyek pangan dan energi skala besar, panas bumi, dan migas. Inpres ini juga tidak ditujukan kepada beberapa instansi yang terkait erat dengan deforestasi, misalnya Kementerian Pertanian dan Energi-Sumber Daya Mineral. Selain tereduksi oleh kelemahan-kelemahan substantif di atas, bentuk hukum kebijakan moratorium itu sendiri yang hanya berupa Inpres semakin memperlemah daya dan pengaruhnya.

Sementara itu, moratorium versi masyarakat sipil yang tertuang dalam ‘platform bersama’ untuk moratorium yang efektif memandang moratorium sebagai kesempatan untuk mengambil jarak dari masalah dan mengambil langkah-langkah perbaikan tata kelola yang sifatnya permanen dan jangka panjang. Dalam hal ini, periode penerapan moratorium seharusnya tidak dibatasi oleh waktu yang sangat singkat (hanya dua tahun), melainkan ditentukan oleh capaian berdasarkan sejumlah kriteria dan indikator yang dapat diukur secara objektif. Platform bersama ini pada gilirannya menjadi acuan pemantauan terhadap implementasi kebijakan moratorium versi pemerintah yang ada pada saat ini. Pemantauan dilakukan tidak hanya untuk melihat sejauh mana kebijakan moratorium pemerintah saat ini, yang masa berlakunya kurang dari setahun lagi, telah mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakannya, tetapi juga melihat kekurangan dan kelemahan kebijakan itu sendiri setelah dibenturkan pada kenyataan di lapangan. Dengan demikian, pemantauan yang berkelanjutan diharapkan dapat berkontribusi tidak hanya pada penguatan kebijakan yang sudah ada, tetapi juga pada perbaikan atau bahkan pembaharuannya.

Laporan Lingkar Belajar Keadilan Iklim tentang implementasi moratorium di Kalimantan Tengah ini merupakan salah satu keluaran aktivitas pemantauan keadilan iklim, kolaborasi antara HuMa dan Walhi Kalteng. Kalteng adalah provinsi dengan tingkat deforestasi tertinggi di Indonesia. Dengan sekitar 1,296 buah izin ekstraktif yang telah mengambil 78% wilayah Kalteng, banyaknya pelanggaran prosedur dan tumpang-tindih perizinan, belum jelasnya tata ruang provinsi, serta belum tuntasnya penegakan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat, pelaksanaan moratorium di Kalteng mendapat tantangan tersendiri. Masih berlangsungnya pembukaan hutan alam dan gambut di Kalteng, tidak adanya inventarisasi kawasan kelola rakyat dan ekologi penting yang terancam, tidak adanya penegakan hukum terhadap izin-izin ilegal, serta masih berlangsungnya konflik lahan karena tidak adanya mekanisme pengaduan dan resolusi konflik agraria dan sumber daya alam  menjadikan implementasi moratorium di Kalteng masih jauh panggang dari api.

Note:

Laporan lengkap (7,7 MB) dapat diminta melalui email berikut: anggaliaputri@gmail.comMoratorium hutan Indonesia yang diawali dengan terbitnya Inpres No. 10 tahun 2011 tentang Penundaan Izin Pemanfaatan Hutan di Hutan Primer dan Lahan Gambut adalah salah satu kebijakan yang ditunggu-tunggu masyarakat sipil yang prihatin atas nasib hutan Indonesia dan kondisi iklim global. Rusaknya hutan akibat laju bisnis ekstraktif dan destruktif tak terkendali seperti pembalakan, tambang, dan perkebunan skala besar telah menimbulkan penderitaan tak terperi, tidak hanya bagi lingkungan itu sendiri, namun lebih-lebih pada masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan yang bergantung sebagian atau sepenuhnya pada hasil hutan untuk kehidupan mereka sehari-hari. Kompromi ekonomi-politik dan lobi para pengusaha ekstraktif telah membuat kebijakan moratorium yang akan berakhir pada tahun 2013 ini lemah secara substantif. Setelah tertunda berbulan-bulan, kebijakan moratorium keluar dengan impotensi yang terkandung secara inheren jika tujuannya adalah menyelamatkan hutan dan mengurangi emisi. Pertama, ia mengeluarkan ‘hutan alam sekunder’ dari perlindungan, mengecualikan izin-izin yang telah ada sebelumnya (termasuk izin prinsip dan perpanjangannya), restorasi ekosistem dan proyek-proyek pembangunan yang dianggap ‘vital,’ termasuk proyek pangan dan energi skala besar, panas bumi, dan migas. Inpres ini juga tidak ditujukan kepada beberapa instansi yang terkait erat dengan deforestasi, misalnya Kementerian Pertanian dan Energi-Sumber Daya Mineral. Selain tereduksi oleh kelemahan-kelemahan substantif di atas, bentuk hukum kebijakan moratorium itu sendiri yang hanya berupa Inpres semakin memperlemah daya dan pengaruhnya. Sementara itu, moratorium versi masyarakat sipil yang tertuang dalam ‘platform bersama’ untuk moratorium yang efektif memandang moratorium sebagai kesempatan untuk mengambil jarak dari masalah dan mengambil langkah-langkah perbaikan tata kelola yang sifatnya permanen dan jangka panjang. Dalam hal ini, periode penerapan moratorium seharusnya tidak dibatasi oleh waktu yang sangat singkat (hanya dua tahun), melainkan ditentukan oleh capaian berdasarkan sejumlah kriteria dan indikator yang dapat diukur secara objektif. Platform bersama ini pada gilirannya menjadi acuan pemantauan terhadap implementasi kebijakan moratorium versi pemerintah yang ada pada saat ini. Pemantauan dilakukan tidak hanya untuk melihat sejauh mana kebijakan moratorium pemerintah saat ini, yang masa berlakunya kurang dari setahun lagi, mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakannya, tetapi juga melihat kekurangan dan kelemahan kebijakan itu sendiri setelah dibenturkan pada kenyataan di lapangan. Dengan demikian, pemantauan yang berkelanjutan diharapkan dapat berkontribusi tidak hanya pada penguatan kebijakan yang sudah ada, tetapi juga pada perbaikan atau bahkan pembaharuannya. Laporan Lingkar Belajar Keadilan Iklim tentang implementasi moratorium di Kalimantan Tengah ini merupakan salah satu hasil dari aktivitas pemantauan keadilan iklim, kolaborasi antara HuMa dan Walhi Kalteng. Moratorium di Kalteng sangat menantang karena deforestasi di provinsi tersebut adalah yang tertinggi di Indonesia. Dengan sekitar 1,296 buah izin ekstraktif yang telah mengambil 78% wilayah Kalteng, ditambah banyaknya pelanggaran prosedur dan tumpang-tindih perizinan, serta masih belum jelasnya tata ruang provinsi, pelaksanaan moratorium di Kalteng masih belum bisa menembus tumpukan masalah tata kelola kehutanan

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.