#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

Pembelajaran dari Ford Foundation Partners Meeting: Isu-Isu yang Perlu Diperbincangkan PHR-PHR HuMa di Kampung dan Kampus Seputar Energi, Tambang, dan Transisi Energi Berkeadilan

Pembelajaran dari Ford Foundation Partners Meeting:

Isu-Isu yang Perlu Diperbincangkan PHR-PHR HuMa di Kampung dan Kampus

Seputar Energi, Tambang, dan Transisi Energi Berkeadilan

 

Pada 23-26 April 2024, HuMa menghadiri pertemuan mitra-mitra Ford Foundation yang berisi serangkaian dialog berkaitan dengan pengelolaan energi, pertambangan, dan transisi energi. Diskusi ini dihadiri oleh narasumber dari berbagai latar belakang: Bappenas, diwakili oleh Medrilzam; Ditjen EBTKE Kementerian ESDM diwakili Hendro Gunawan; Drajad Wibowo; perwakilan berbagai CSO diantaranya Article 33, Perkumpulan Prakarsa, Fitra Riau, PWYP Indonesia, Amnesty International Indonesia, Core Indonesia, AEER, Auriga Nusantara, Djokosoetono Research Center, Climate Policy Initiative, Trend Asia, Coaction Indonesia, ICEL, The Habibie Center; dan akademisi UGM diantaranta Prof. Purwo Santoso, Hasrul Hanif, Sarjiya.

Dari berbagai diskusi yang diselenggarakan selama 4 hari, terdapat beberapa isu yang perlu diperhatikan oleh masyarakat sipil termasuk PHR HuMa di kampus dan kampung, karena akan berkaitan dengan perlindungan hak masyarakat adat dan lokal:

  1. Pertama, kita perlu menuntut industri critical minerals yang sedang digenjot di Indonesia untuk mempedulikan dampak sosial dan lingkungan. Critical minerals adalah mineral yang dianggap penting untuk pengembangan teknologi dan ekonomi nasional ke depan, terutama untuk energi baru terbarukan. Di Indonesia, critical minerals yang dihasilkan dan diekspor antara lain nikel, timah, tembaga, dan bauksit. Pemerintah pusat dan daerah perlu didorong untuk lebih aware dan lebih tegas dalam mengawasi dampak sosial dan lingkungan dari industri ini. Nikel misalnya, jangan sampai tambang nikel yang sedang marak memicu deforestasi dan perampasan lahan baru. Belum juga aspek perlindungan hak buruh di industri nikel. Pencemaran air di sekitar lokasi industri, juga angka kemiskinan di kabupaten-kabupaten penghasil nikel. Harusnya, wilayah adat dan hutan alam dikecualikan dalam pengembangan industri ini.

 

  1. Kedua, kita perlu tegas dalam mendefinisikan dan menuntut transisi energi yang berkeadilan. Transisi energi yang dituntut oleh masyarakat sipil harus berkeadilan, memberi manfaat bagi semua orang termasuk minoritas dan kelompok rentan, serta tidak melibatkan eksploitasi baru. Saat ini justru, salah satu program andalan pemerintah untuk transisi energi adalah co-firing PLTU batubara. Singkatnya, untuk mengurangi jumlah batubara yang dibakar di PLTU, batubara dibakar bersama bahan-bahan alami, seperti kayu, cangkang sawit, sampah, dan lain-lain. Bahan-bahan ini disebut biomassa. Namun kenyataannya, justru muncul ancaman deforestasi dan/atau konflik lahan baru dengan masyarakat adat/lokal untuk kepentingan menyuplai bahan-bahan biomassa ini.

 

  1. Ketiga, hilirisasi di sektor pertambangan dan energi diprediksi jadi salah satu fokus utama pemerintah mendatang. Hilirisasi sering disebut dalam debat capres-cawapres dalam Pilpres 2024. Hilirisasi berarti proses pengolahan produk dari bahan mentah jadi bahan yang bernilai lebih atau siap dijual ke konsumen. Dalam konteks pertambangan caranya macam-macam tergantung jenis mineralnya. Untuk hilirisasi nikel, yang gencar di Indonesia, dilakukan dengan membangun smelter. Smelter ini bisa mengubah bijih nikel yang dikeruk dari tanah kita jadi produk nikel ferro (untuk baja) dan nikel matte (untuk baterai).

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menghadapi gencarnya semangat hilirisasi ini, terutama dampaknya terhadap deforestasi, perampasan wilayah masyarakat adat/lokal, dan pencemaran lingkungan. Penelitian dari Auriga Nusantara bahwa setiap ada smelter baru, deforestasi meningkat drastis beberapa kali lipat di sekitar area supply chain smelter tersebut. Sulawesi Tengah, provinsi penghasil nikel, mengalami deforestasi keempat terbesar di Indonesia. Indonesia harus belajar dari deforestasi besar-besaran akibat kebijakan pulp and paper dari HTI bertahun-tahun lalu, jangan sampai terulang dengan nikel ini.

 

  1. Keempat, resentralisasi kekuasaan dari daerah ke pusat dalam urusan perizinan, pengawasan, dan lingkungan hidup yang diatur sejak UU Cipta Kerja menyebabkan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan pertambangan tidak efektif berjalan. Medrilzam dari Bappenas mengungkapkan hasil tinjauan lapangannya bahwa KLHK tidak cukup tenaga dan sumber daya untuk mengawasi secara efektif semua pemegang izin di Indonesia, begitu juga dengan Gakkum. Jika daerah diberi kewenangan dan sumber daya untuk mengawasi dan menindak izin-izin usaha di daerahnya sendiri, pengawasan akan lebih efektif.

 

  1. Kelima, pentingnya analisis data secara kritis untuk meng-counter narasi yang membajak agenda energi baru terbarukan. Misalnya, nikel di Indonesia digadang-gadang perlu digenjot karena dibutuhkan untuk energi baru terbarukan seperti baterai dan mobil listrik. Ternyata menurut data Kementerian ESDM tahun 2023, sebagian besar nikel yang diekspor oleh Indonesia bukan untuk baterai, tapi untuk pembuatan stainless steel; sementara yang digunakan untuk baterai hanya 5%. Padahal kalau pemerintah memang semangat menggencarkan nikel untuk energi baru terbarukan, hanya mendorong hilirisasi untuk baterai dan mobil listrik. Data ini penting untuk mendorong rekomendasi kebijakan ke depan.

Beberapa kendala terkait data seputar pertambangan dan energi saat ini antara lain: (1) portal data dan informasi tidak sampai kepada masyarakat yang secara langsung terdampak di tingkat tapak; (2) data hanya relevan bagi CSO dan peneliti, namun tidak relevan bagi masyarakat di tingkat tapak; (3) data dan informasi hanya bisa reliable dan akuntabel jika demokrasi berjalan.

 

  1. Keenam, demokrasi dan ruang gerak masyarakat sipil jadi kunci utama dalam keadilan energi. Ada beberapa indikasi merosotnya demokrasi dan menyempitnya ruang gerak masyarakat sipil yang harus diwaspadai. Tanpa ini, percuma mencita-citakan keadilan energi. Pertama, adanya resentralisasi kekuasaan. Di beberapa wilayah sudah terlihat, walaupun Pemda, DPRD, dan masyarakat di daerah menolak suatu rencana pembangunan, namun jika pusat menjadikan proyek tersebut proyek strategis, kegiatan akan tetap berjalan. Kedua, makin maraknya politisi pengusaha dan super wealthy oligarch. Akhirnya logika yang dipakai dalam pengambilan kebijakan bisa mengikuti logika korporasi. Misalnya, berpotensi lebih memikirkan bagaimana mobil listrik laku daripada memperhatikan perampasan lahan dan kerusakan lingkungan untuk mensukseskan program mobil listrik ini. Ketiga, melemahnya peran oposisi, partai menjadi kartel dalam oligarki. Keempat, meningkatkan intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi didorong oleh meningkatnya peran UU, aparat penegak hukum, dan aparat keamanan represif. Kelima, weaponization of law enforcement. Lembaga hukum diduga digunakan untuk menekan lawan politik.

 

  1. Ketujuh, aspek-aspek yang menjadi prasyarat keadilan energi perlu diperhatikan. Misalnya, menjamin desa-desa penghasil suatu komoditas benar-benar menikmati manfaat dari penggunaan komoditas tersebut. Sering pembukaan usaha pertambangan mengatasnamakan “kepentingan umum” atau “kepentingan nasional”. Namun desa-desa yang menjadi lokasi pertambangan tersebut justru semakin terpinggirkan, tetap tidak sejahtera dan tidak mendapat manfaat signifikan dari aktivitas tersebut. Salah satu upaya advokasi yang bisa dilakukan masyarakat adalah mendorong Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) dari pusat ke daerah, betul-betul dipakai oleh daerah untuk memberi manfaat ke desa-desa penghasil komoditas tersebut. Contoh advokasi ini dilakukan oleh Fitra Riau.

Aspek penting lain adalah memastikan perempuan, masyarakat adat/lokal, dan kelompok rentan dilibatkan sejak tahap perencanaan kebijakan sampai implementasi.

 

  1. Kedelapan, pentingnya mendorong standar HAM dan lingkungan untuk industri tambang. Saat ini belum ada standar khusus untuk tambang yang dikembangkan, seperti RSPO kalau di sektor sawit. Standar yang sering digunakan oleh usaha-usaha tambang ini adalah standar umum; ada dua: bisnis dan HAM, serta ESG. Namun dua-duanya masih bersifat sukarela. Sulit bagi pemerintah untuk membuat mekanisme ini menjadi memaksa. Yang lebih efektif mendorong justru pasar, konsumen, dan lembaga-lembaga keuangan.

Berarti penting juga dicatat untuk mendorong lembaga-lembaga keuangan agar lebih memperhatikan aspek sosial dan lingkungan dalam mendanai kegiatan-kegiatan usaha ini.

Isu-isu yang diangkat dalam diskusi ini berdampak pada penikmatan hak masyarakat adat dan lokal. Masyarakat adat dan lokal menjadi pihak yang paling terdampak dalam kebijakan sektor energi. Berarti, masyarakat adat dan lokal, termasuk perempuan adat dan kelompok rentan, harus menjadi aktor kunci yang dilibatkan dalam perumusan kebijakan-kebijakan di sektor energi.

 

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.