#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

Kebijakan Komunitas

Kebijakan Operasional Proyek HuMa

Prinsip-prinsip Umum

Operational Policy 1: Hak Asasi Manusia

Tujuan

Salah satu nilai yang dianut Perkumpulan HuMa Indonesia (HuMa) dalam kerja-kerjanya adalah Hak Asasi Manusia. Policy 1 bertujuan agar kerja HuMa sesuai dengan nilai hak asasi manusia.

Definisi
  • Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada semua manusia, tanpa memandang ras, jenis kelamin, kebangsaan, suku, bahasa, agama, atau status lainnya. Hak asasi manusia mencakup antara lain: hak untuk hidup dan bebas, bebas dari penyiksaan, bebas berpendapat dan berekspresi, hak untuk bekerja dan pendidikan, hak atas perlindungan properti, hak atas standar hidup yang layak dan perlindungan sosial, dan hak-hak lainnya. Setiap orang berhak atas hak-hak ini, tanpa diskriminasi.
  • Referensi dasar hak-hak asasi manusia adalah instrumen-instrumen internasional antara lain Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa- Bangsa 1948, Konvensi Hak Sipil dan Politik, Konvensi Sosial Ekonomi dan Budaya.
Kebijakan

HuMa tidak akan mendanai atau melaksanakan proyek yang bermaksud untuk mengurangi atau menghilangkan salah satu dari hak-hak asasi manusia sebagaimana ditetapkan dalam instrumen-instrumen hukum internasional maupun ratifikasinya dalam hukum nasional Indonesia.

Persyaratan
  1. Untuk patuh pada syarat ini, HuMa akan menerapkan proses asesmen safeguards untuk semua proyek yang didanai dan/atau dilaksanakan. Tujuan dari asesmen ini adalah untuk mendeteksi potensi kegiatan yang terkait dengan perlindungan dan penghormatan terhadap HAM.
  2. Asesmen dilakukan pada tahap perencanaan kegiatan untuk mengantisipasi usulan-usulan yang berkenaan dengan dampak terhadap hak asasi manusia.
  3. Bila diperlukan, proyek yang diduga berdampak pada hak asasi manusia melibatkan asesmen dari pegiat HAM maupun pemikir-pemikir HAM.
  4. Jika ditemukan usulan kegiatan yang berdampak pada hak asasi manusia, baik mengurangi, mengabaikan, menghilangkan HAM, HuMa dilarang mendanai dan/atau melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut.
  5. HuMa mengidentifikasi usulan kegiatan dan proyek yang melibatkan pihak ketiga dan secara sejajar dengan pendekatan yang sama menggunakan asesmen ini.
  6. Dalam hal kegiatan-kegiatan dilaksanakan, HuMa melakukan evaluasi berdasarkan pelaksanaan kegiatan, laporan, komplain, dan saluran-saluran informasi yang tersedia untuk mendeteksi kegiatan yang pelaksanaannya menimbulkan risiko terhadap HAM. Kegiatan yang dalam pelaksanaannya ditemukan dampak pada HAM dihentikan.
  7. Dalam hal terjadi dampak, bentuk-bentuk pemulihan HAM dilakukan dan ditetapkan HuMa berdasarkan permintaan korban, mengacu pada standar rights to remedy menurut standar hak asasi manusia.

Operational Policy 2: Partisipasi

Tujuan
  • HuMa dalam visi misinya menjunjung tinggi keberagaman sistem sosial dan budaya di masyarakat. Untuk itu, kerja HuMa harus mengedepankan pengakuan atas hukum lokal dan pengetahuan tradisional sehingga menjawab kebutuhan dari masyarakat sendiri.
  • Policy 2 bertujuan untuk memastikan proyek mengakomodasi pandangan dan kebutuhan semua pemangku kepentingan, baik dalam tahap perencanaan, serta penyelesaian sengketa dan ganti kerugian.
  • Untuk memastikan pihak-pihak yang terdampak terlibat dalam perencanaan proyek dan dalam keadaan tertentu memberikan persetujuan atas rencana proyek.
Definisi
  • Pemangku kepentingan adalah individu, kelompok, maupun institusi yang terdampak oleh dan/atau dapat mempengaruhi keputusan berkaitan dengan proyek. Beberapa pemangku kepentingan sekaligus merupakan pemangku hak, misalnya masyarakat adat dan masyarakat lokal yang terdampak oleh suatu proyek. Sehingga untuk pemangku hak, pemenuhan partisipasi merupakan penghormatan terhadap hak mereka yang tidak boleh dilanggar.
  • Partisipasi dalam pelaksanaan proyek dapat memiliki beberapa definisi. Spektrum partisipasi yang kami rujuk dalam kebijakan ini adalah seperti yang dikemukakan oleh Brinkerhoff dan Crosby (2002), yakni terdiri dari: keterbukaan informasi; konsultasi; kolaborasi; pengambilan keputusan bersama; dan pemberian kuasa untuk mengambil keputusan. Berkenaan dengan proyek yang berdampak bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal, bentuk partisipasinya berupa pengambilan keputusan bersama dan pemberian kuasa untuk memberi keputusan, dalam hal ini persetujuan akan rencana proyek.
  • Partisipasi dapat sejalan dengan namun tidak selalu sama dengan proses yang ditempuh untuk prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) yang diuraikan terpisah dalam kebijakan Policy 3.
  • Rujukan utama partisipasi masyarakat yang terdampak terdapat dalam Pasal 18 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, dan untuk sektor privat penjabaran operasionalnya terdapat dalam Business Reference Guide on FPIC yang dibuat oleh UN Global Compact (2013). Dalam pelaksanaannya oleh sektor privat dan lembaga-lembaga internasional, kewajiban pemenuhan hak atas partisipasi tidak terbatas pada masyarakat adat, melainkan juga masyarakat lokal yang terdampak, misalnya dalam Practical Guidance Respecting Free, Prior, and Informed Consent oleh FAO (2014). Selain itu, dalam hal penyelesaian sengketa dan ganti kerugian, rujukan penjabaran operasional untuk sektor privat terdapat dalam UN Guiding Principles on Business and Human Rights (2011) dan interpretative guide yang dibuat oleh PBB (2012).
Kebijakan

HuMa dilarang mendanai dan/atau melaksanakan proyek yang tidak melibatkan dan/atau menegasikan pemangku kepentingan terutama masyarakat adat dan lokal yang terdampak, dalam perencanaan, implementasi, dan penyelesaian sengketa dan ganti kerugian.

Persyaratan
  1. Partisipasi pemangku kepentingan dilaksanakan dalam tahap: perencanaan, pelaksanaan program, serta penyelesaian sengketa dan ganti kerugian.
  2. Dalam tahap perencanaan, HuMa dan pelaksana proyek (jika ada) mengidentifikasi siapa saja pemangku kepentingan yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek, termasuk apakah terdapat masyarakat adat, masyarakat lokal, dan kelompok minoritas dan rentan yang terdampak. Apabila terdapat masyarakat adat yang berpotensi terdampak, maka pemenuhan hak untuk berpartisipasi sesuai dengan Policy 3.
  3. Hasil identifikasi pemangku kepentingan dijadikan dasar oleh HuMa dan pelaksana proyek (jika ada) untuk membuat Rencana Partisipasi Pemangku Kepentingan. Bilamana diperlukan Rencana tersebut melibatkan pakar pada bidang-bidang yang relevan, yang memuat:
    1. Dampak proyek terhadap semua pemangku kepentingan.
    2. Dalam tahap perencanaan, jalur konsultasi yang paling efektif untuk masing-masing pemangku kepentingan untuk berpartisipasi secara efektif dalam perencanaan proyek.
    3. Dalam tahap pelaksanaan, jalur partisipasi pemangku kepentingan selama implementasi proyek.
    4. Jalur penyelesaian sengketa dan ganti kerugian yang mengakomodasi kepentingan pemangku kepentingan yang terdampak.
  4. HuMa menunjuk pihak yang berwenang untuk mengawasi pelaksanaan Rencana Partisipasi Pemangku Kepentingan.
  5.  HuMa dan pelaksana proyek (jika ada) wajib mendokumentasikan semua proses partisipasi pemangku kepentingan.
  6. Konsultasi dengan pemangku kepentingan dalam tahap perencanaan harus memenuhi kriteria:
    1. Membuka keseluruhan informasi proyek yang relevan, termasuk mengenai dampak lingkungan dan sosial dari proyek yang bersangkutan.
    2. Mengatasi hambatan perbedaan bahasa, budaya, gender, dan hambatan lain yang menghalangi partisipasi penuh pemangku kepentingan.
    3. Pemangku kepentingan dipersilahkan mengajak pihak lain yang mereka anggap perlu ikut dalam proses konsultasi.
    4. Konsultasi dengan masyarakat lokal yang terdampak menggunakan metode yang dipilih oleh masyarakat yang bersangkutan, dan disertai dengan pemberian persetujuan. Apabila setelah konsultasi masyarakat lokal yang terdampak tidak memberikan persetujuan atas rencana proyek, lembaga dilarang mendanai proyek tersebut. Persetujuan didokumentasikan dan dituangkan dalam dokumen tertulis. Pelaksana proyek wajib memastikan pemberian persetujuan telah melibatkan perempuan dan kelompok rentan di dalam komunitas yang bersangkutan.
  7. Selama implementasi proyek, HuMa dan pelaksana proyek (jika ada) wajib menunjuk perwakilan yang bertanggung jawab untuk menjaga komunikasi dengan semua pemangku kepentingan, terutama masyarakat lokal yang terdampak, dan sebagai sarana partisipasi semua pemangku kepentingan yang tersedia setiap waktu.
  8. Partisipasi dalam proses penyelesaian sengketa dan ganti rugi harus memenuhi kriteria:
    1. proses penyelesaian sengketa dapat dipercaya oleh para pemangku kepentingan;
    2. aksesibel dan diketahui oleh semua pemangku kepentingan;
    3. prosedur dan waktunya jelas;
    4. membuka akses informasi kepada para pihak;
    5. transparan;
    6. fokus pada musyawarah mufakat dan mengakomodasi pandangan para pihak; dan
    7. sesuai dengan hak asasi manusia.

Operational Policy 3: Free Prior Informed Consent

Tujuan
  • HuMa dalam visi misinya menjunjung tinggi keberagaman sistem sosial dan budaya di masyarakat. Untuk itu, kerja HuMa harus mengedepankan pengakuan atas hukum lokal dan pengetahuan tradisional sehingga menjawab kebutuhan dari masyarakat sendiri.
  • Policy 3 bertujuan untuk memastikan semua kegiatan yang dibiayai sejalan dengan hak komunal masyarakat adat atas free, prior and informed consent (FPIC).
Definisi
  • Free, prior and informed consent (untuk selanjutnya disebut FPIC) adalah hak komunal masyarakat adat untuk memberikan, memberikan dengan syarat, atau tidak memberikan persetujuan terhadap aktivitas, proyek, atau kebijakan yang akan berdampak pada penikmatan hak mereka, termasuk atas wilayah adat. FPIC terdiri dari 4 (empat) unsur utama. Unsur pertama, free, mensyaratkan persetujuan masyarakat harus diberikan tanpa paksaan, intimidasi, manipulasi, pengaruh, maupun tekanan. Unsur kedua, prior, mensyaratkan persetujuan masyarakat harus diberikan sebelum dimulainya kegiatan yang berdampak pada hak masyarakat adat yang bersangkutan, dan proses perundingan, konsultasi, dan pengambilan keputusan harus diberikan jangka waktu yang memadai. Unsur ketiga, informed, mensyaratkan ketersediaan informasi yang lengkap kepada masyarakat adat sebelum pemberian persetujuan. Dan unsur terakhir, consent, mensyaratkan adanya pemberian persetujuan terlebih dahulu atas itikad baik, sepanjang pelaksanaan proyek, dan dapat dicabut sewaktu-waktu oleh masyarakat adat.
  • FPIC merupakan bagian dari hak asasi komunal masyarakat adat. Sehingga komunitas yang memiliki hak atas FPIC tidak tergantung pada apakah komunitas tersebut telah ditetapkan secara formal sebagai masyarakat adat oleh produk hukum negara.
  • Dasar hukum mengikat dari FPIC adalah aturan mengenai hak menentukan nasib sendiri dalam Pasal 1 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Penjabaran lebih lengkap dan spesifik tentang FPIC terdapat dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP). Sebagai rujukan tambahan, penjabaran tentang FPIC dalam bentuk prinsip-prinsip yang lebih operasional terdapat dalam United Nations Expert Mechanism on the Rights of Indigenous Peoples Advice Nomor 11 (2018) tentang FPIC. Untuk sektor privat, rujukan prinsip-prinsip operasionalnya terdapat dalam Business Reference Guide on UNDRIP oleh United Nations Global Compact (2013).
Kebijakan

HuMa tidak akan mendanai dan/atau melaksanakan proyek yang:

  • Berdampak terhadap masyarakat adat, namun tidak mendapatkan persetujuan sesuai dengan prinsip-prinsip FPIC dari masyarakat adat yang bersangkutan.
  • Berdampak terhadap masyarakat adat, namun mekanisme pengambilan keputusan untuk pemberian persetujuan di masyarakat adat yang bersangkutan tidak melibatkan perempuan dan kelompok rentan di komunitas yang bersangkutan.
Persyaratan
  1. Proyek yang berdampak terhadap masyarakat adat tidak boleh dimulai dan dilarang didanai sebelum masyarakat adat yang bersangkutan memberikan persetujuan sesuai dengan prinsip-prinsip FPIC.
  2. Dalam tahap perencanaan, HuMa menerapkan proses asesmen safeguards untuk semua proyek yang didanai dan/atau dilaksanakan. Tujuan dari penyaringan ini adalah untuk mendeteksi apakah terdapat proyek-proyek yang berpotensi berdampak kepada hak masyarakat adat.
  3. Apabila terdapat indikasi proyek berdampak kepada masyarakat adat, HuMa dan pelaksana proyek (jika ada) bertemu dengan pemangku adat pada komunitas adat yang bersangkutan untuk, atas persetujuan masyarakat adat yang bersangkutan, bersama dengan masyarakat adat mendiskusikan rencana proyek dan melakukan asesmen dampak dari proyek terhadap pemenuhan hak masyarakat adat, termasuk atas wilayah adat dan sumber daya alamnya. Asesmen dampak ini dilakukan dengan melibatkan pakar pada bidang-bidang yang relevan.
  4. Berdasarkan hasil asesmen, HuMa dan pelaksana proyek (jika ada) berkonsultasi dengan masyarakat adat yang bersangkutan untuk melibatkan masyarakat adat yang bersangkutan dalam perencanaan kegiatan sampai mendapatkan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan, dengan mekanisme disesuaikan dengan hukum adat masing-masing komunitas. Proses konsultasi, perencanan kegiatan, sampai kesepakatan harus:
    1. Berjalan tanpa paksaan, intimidasi, manipulasi, maupun tekanan baik fisik maupun psikis, secara langsung maupun tidak langsung.
    2. Memberikan waktu yang cukup bagi komunitas yang bersangkutan untuk berpartisipasi penuh dalam perencanaan proyek.
    3. Menyediakan informasi yang lengkap dan rinci tetang proyek, termasuk: tujuan; durasi; dan dampak sosial, lingkungan, ekonomi, dan budaya.
    4. Segala proses perundingan, perbedaan pendapat, dan kesepakatan sampai menghasilkan persetujuan akhir didokumentasikan dan dituangkan secara tertulis. Dokumen tertulis setidaknya memuat: durasi proyek, dampak yang akan timbul, kesepakatan para pihak termasuk mengenai benefit sharing. Apabila persetujuan diberikan dengan syarat, syarat-syarat dalam pemberian persetujuan juga harus dituangkan secara tertulis.
  5. Persetujuan diberikan secara kolektif sesuai dengan mekanisme pengambilan keputusan internal komunitas yang bersangkutan sesuai dengan hukum adatnya. Namun HuMa perlu memastikan apakah proses pengambilan keputusan di internal masyarakat adat telah melibatkan perempuan adat dan kelompok rentan di dalam komunitas yang bersangkutan. Penilaian ini dilakukan dengan melibatkan pakar bila diperlukan. Apabila ditemukan mekanisme pengambilan keputusan tersebut tidak melibatkan perempuan adat dan kelompok rentan di dalam komunitas, HuMa dilarang mendanai dan/atau melaksanakan proyek tersebut.
  6. Selama pelaksanaan kegiatan, HuMa melakukan monitoring dan evaluasi sesuai dengan kesepakatan dengan masyarakat adat yang bersangkutan.
  7. Persetujuan tidak diberikan sekali selesai namun terus menerus. Apabila sewaktu-waktu masyarakat adat yang bersangkutan melalui mekanisme  pengambilan keputusan internal mencabut persetujuan, pelaksanaan kegiatan dihentikan.
  8. Dalam hal pelaksanaan proyek melanggar kesepakatan dengan masyarakat adat, HuMa bertanggung jawab atas pemulihan dan ganti rugi sesuai mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur oleh hukum adat komunitas yang bersangkutan sesuai dengan nilai-nilai hak asasi manusia.

Operational Policy 4: Pencegahan terhadap Penggusuran dan/atau Relokasi

Tujuan

Untuk memastikan semua kegiatan yang dibiayai tidak secara langsung maupun
langsung, menyebabkan terjadinya relokasi bagi sebagian atau seluruh anggota komunitas.

Definisi
  • Mengacu pada Laporan UNHCR (2014), relokasi adalah perpindahan tempat tinggal suatu komunitas atau sebagian anggota komunitas secara fisik ke lokasi lain. Relokasi bisa direncanakan maupun tidak direncanakan. Misalnya akibat bencana alam atau wabah penyakit.
  • Dalam proyek-proyek pembangunan, biasanya relokasi dimungkinkan apabila berdasarkan persetujuan para pihak. Sehingga dalam banyak safeguards yang dilarang adalah involuntary relocation/resettlement. Namun, mengacu pada Annex 1 Laporan Special Rapporteur on Adequate Housing (A/HRC/4/18), relokasi hanya dimungkinkan dalam keadaan yang sangat luar biasa, misalnya bencana alam. Sehingga, menimbang kegiatan-kegiatan yang didanai oleh lembaga-lembaga privat untuk proyek tertentu atau investasi, hakikatnya bukan merupakan keadaan luar biasa. Karena itu, dalam konteks itu pula, safeguards ini tidak memungkinkan atau melarang relokasi.
  • Rujukan mengenai pencegahan relokasi adalah General Comment 7 Committee on Economic, Social and Cultural Rights (1997) dan Annex 1 Laporan Special Rapporteur on Adequate Housing (A/HRC/4/18).
Pengecualian

HuMa tidak akan mendanai proyek yang baik secara langsung maupun tidak langsung berakibat relokasi bagi sebagian atau keseluruhan anggota komunitas masyarakat adat atau lokal.

Persyaratan
  1. HuMa dan pelaksana proyek (jika ada) melakukan asesmen dampak sesuai prosedur yang diatur dalam Policy 2 dan Policy 3.
  2. Lembaga dilarang mendanai proyek yang:
    1. Pelaksanaannya mensyaratkan relokasi seluruh atau sebagian anggota komunitas adat atau masyarakat lokal yang terdampak;
    2. Dampak pelaksanaannya menyebabkan seluruh atau sebagian anggota komunitas adat atau masyarakat lokal harus merelokasi diri. Misalnya karena proyek menyebabkan perubahan kondisi geografis atau penurunan kualitas lingkungan hidup; menyebabkan bencana ekologis; memicu konflik sosial; menyebabkan kekerasan dalam komunitas; dan dampak-dampak lainnya yang menyebabkan relokasi.
  3. Dalam pelaksanaan proyek, HuMa dan pelaksana proyek (jika ada) secara berkala memperbaharui asesmen dampak untuk mengantisipasi dan mencegah resiko relokasi sedini mungkin.
  4. Apabila dalam asesmen tidak ditemukan resiko relokasi, namun saat pelaksanaan proyek menimbulkan dampak yang tidak diprediksi sebelumnya  yang menyebabkan terjadinya relokasi, maka HuMa tetap wajib bertanggung jawab untuk memulihkan hak korban relokasi.
  5. Selain bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional, pemulihan hak lain yang menjadi tanggung jawab lembaga memiliki kriteria:
    1. Sesuai standar hak asasi manusia sebagaimana diarahkan dalam Policy 1;
    2. Melalui prosedur sesuai hukum adat, atau prosedur lain yang dipilih oleh korban;
    3. Dapat berupa kompensasi, restitusi, kembali ke tempat tinggal semula, dan rehabilitasi;
    4. Dalam hal kompensasi yang adil, diperhitungkan juga potensi keuntungan yang hilang, kerugian immateriil, pendidikan, jaminan sosial, biaya penyelesaian sengketa, biaya pengobatan, biaya pendampingan psikologis, dan biaya hilangnya mata pencaharian dari pemanfaatan sumber daya alam di tempat tinggal sebelum relokasi;
    5. Pemulihan hak tidak tergantung jenis hak atas tanah yang dimiliki korban. Jenis-jenis hak dimaksud dapat berupa bukti tertulis maupun lisan yang diwariskan secara turun temurun;
    6. Hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan, juga mempertimbangkan definisi ‘orang dewasa’ menurut kebiasaan komunitas.

Operational Policy 5: Keselamatan Kerja

Tujuan
  • Sebagai panduan bagi HuMa dan pelaksana proyek dalam hal keselamatan kerja.
  • Memastikan proyek dijalankan dengan menjaga keselamatan kerja pekerja, dan menghindarkan pekerja dari ancaman bahaya yang dapat terjadi dalam pelaksanaan proyek.
Definisi
  • Pekerja adalah setiap orang yang dipekerjakan dan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
  • Tempat kerja sebagaimana dimaksud mencakup semua tempat di mana pekerja harus berada atau menuju dengan alasan pekerjaan mereka dan berada di bawah kendali baik langsung maupun tidak langsung dari lembaga atau pemberi kerja.
  • Diskriminasi adalah setiap pembedaan, pengecualian atau pengutamaan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, keturunan atau asal-usul sosial.
  • Keselamatan kerja sebagaimana dimaksud tidak hanya terbatas pada keselamatan fisik tetapi juga termasuk ancaman pada keselamatan lainnya.
  • Mengacu pada Konvensi ILO tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja No.155 tahun 1981, Konvensi ILO tentang Kerangka Promosional untuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja No.187 tahun 2006, dan Peraturan Nasional yang mengatur tentang Ketenagakerjaan dan Keselamatan Kerja.
Kebijakan

HuMa dilarang mendanai dan/atau melaksanakan proyek yang dapat membahayakan keselamatan kerja pekerja.

Persyaratan
  1. Untuk mematuhi syarat ini, lembaga menerapkan proses asesmen terhadap semua proyek yang didanai dan/atau dilaksanakan. Tujuan dari penyaringan ini adalah untuk mendeteksi tingkat risiko yang ditimbulkan dari pelaksanaan proyek yang berkaitan dengan keselamatan kerja.
  2. Asesmen proyek ini dilakukan dengan melakukan konsultasi antara lembaga, semua pekerja atau perwakilan pekerja secara representatif, dan ahli.
  3. Dalam konsultasi yang dilakukan lembaga, pekerja, dan ahli, lembaga wajib memberikan informasi secara terbuka dan menyeluruh terkait dengan kategori risiko kerja yang muncul dari proyek yang akan dikerjakan.
  4. Pekerja sebagai pihak yang terlibat dalam pelaksanaan proyek memiliki hak untuk berpartisipasi dalam memberikan masukan, menerima, dan/atau menolak pelaksanaan proyek dan rencana perlindungan pekerja atas proyek dengan berdasarkan pada pertimbangan keselamatan kerja.
  5. HuMa wajib menyediakan kebijakan yang berisi perencanaan perlindungan terhadap pekerja dalam pelaksanaan proyek, terutama yang beresiko tinggi, termasuk perencanaan bila pekerja dalam keadaan darurat dan pengaturan tentang pertolongan pertama kepada pekerja dalam pelaksanaan proyek. Penyusunan kebijakan ini dilakukan secara partisipatif melibatkan seluruh pekerja dan ahli.
  6. Dalam hal proyek yang diterima akan dilaksanakan dalam waktu lebih dari satu tahun, maka HuMa melakukan evaluasi terhadap kebijakan perlindungan pekerja setiap 1 (satu) tahun.
  7. Dalam hal terjadi kecelakaan kerja dalam pelaksanaan proyek, yang mana dalam pelaksanaannya Pekerja telah mengikuti prosedur pelaksanaan proyek dengan sebagaimana mestinya, maka HuMa bertanggung jawab penuh terhadap pemulihan pekerja, menanggung semua biaya pemulihan, dan biaya kerugian-kerugian yang dialami oleh pekerja baik materiil maupun immateriil sesuai standar hukum nasional dan hak asasi manusia.
  8. Pekerja tidak dapat dikenai pemutusan hubungan kerja karena mengalami sakit akibat resiko pekerjaan.
  9. Pemberian perlindungan terhadap keamanan dan keselamatan pekerja dalam pelaksanaan proyek dilakukan tanpa diskriminasi.
  10. Pekerja yang telah mengeluarkan dirinya dalam pelaksanaan proyek di mana Pekerja memiliki pembenaran yang masuk akal karena adanya bahaya yang mengancam dan serius bagi kehidupan atau keselamatannya harus dilindungi dari konsekuensi yang tidak semestinya.
  11. HuMa wajib menyediakan peralatan pendukung perlindungan keamanan dan keselamatan pekerja dalam pelaksanaan proyek, baik terhadap perlindungan yang bersifat digital maupun non-digital. Pengadaan segala peralatan ini menjadi tanggungan HuMa dan tidak dibebankan kepada pekerja.

Operational Policy 6: Komplain, Kerugian, dan Ganti Kerugian

Tujuan

  • Sebagai organisasi yang transparan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, Policy 6 bertujuan untuk menjamin bahwa HuMa memiliki prosedur yang konsisten dan adil untuk menangani klaim atas kerugian yang diajukan oleh staf HuMa.

Definisi

  • Klaim (grievance) adalah dasar untuk menyatakan kerugian, yang dialami oleh seseorang dan/atau sekelompok orang, dan disebabkan oleh suatu perlakukan yang tidak adil, tidak pantas, dan/atau diskriminatif.

Kebijakan

HuMa wajib menangani komplain atas kerugian dari seluruh pekerja HuMa dengan adil dan nondiskriminatif.

Persyaratan

  1. HuMa wajib menerima dan menindaklanjuti apabila terdapat staf yang mengajukan klaim kerugian atas perlakuan tidak adil, tidak pantas, dan/atau diskriminatif dari staf lain.
  2. Penanganan komplain harus dilakukan dengan itikad baik.
  3. Pengajuan dan penanganan komplain harus sesuai dengan asas praduga tak bersalah, namun juga mengakomodasi perlindungan pengaju komplain dari intimidasi.
  4. Apabila pengaju komplain meminta untuk proses dilaksanakan secara rahasia, HuMa wajib menghargai kepentingan pengaju komplain untuk merahasiakan proses.
  5. Alur penanganan dan banding komplain adalah sebagai berikut:
    1. Tingkat 1: staf yang ditunjuk oleh HuMa untuk menangani komplain.
    2. Tingkat 2: Direktur Eksekutif HuMa
    3. Tingkat 3: Badan Pengurus HuMa

Operational Policy 7: Perempuan, Anak, dan Kelompok Minoritas Lain

Tujuan
  • Untuk memastikan bahwa pelaksanaan Proyek dilakukan dengan tetap menghormati, melindungi, tidak mendiskriminasi serta tidak melanggar hak-hak perempuan, anak, dan kelompok minoritas lain.
  • Untuk memastikan bahwa dalam pelaksanaan proyek memastikan prinsip inklusif, sensitif dan responsif gender, untuk mewujudkan keadilan gender dan menciptakan kondisi pendukung untuk pemberdayaan dan perlindungan perempuan
Definisi
  • Anak adalah seseorang berusia di bawah 18 tahun.
  • Dalam mendukung pelaksanaan perlindungan anak-anak, prinsip kesetaraan harus disertakan dalam Policy ini dengan menyatakan bahwa semua anak memiliki hak yang sama atas perlindungan terlepas dari karakteristik pribadinya, yang meliputi usia, jenis kelamin, kemampuan, budaya, ras, kepercayaan religius, dan identitas seksual. Selain itu, bahwa sejumlah bentuk kekerasan tertentu lebih banyak menyerang anak perempuan; tingkat kerentanan dan risiko yang lebih tinggi menyasar anak- anak dengan disabilitas, kelompok/komunitas minoritas seksual seperti lesbian, gay, biseksual, transgender dan interseksual muda, anak-anak dari kelompok etnis minoritas, anak-anak terlantar atau pengungsi, dan mereka yang menjalani perawatan institusional.
  • Dalam mendukung pelaksanaan perlindungan terhadap perempuan, maka Lembaga dan pelaksana proyek memastikan bahwa pelaksanaan proyek didasarkan pada prinsip inklusif, sensitif dan responsif gender, untuk mewujudkan keadilan gender dan menciptakan kondisi pendukung untuk  pemberdayaan dan perlindungan perempuan. Hal ini juga bertujuan untuk untuk mencapai penghapusan prasangka dan kebiasaan serta praktik lain yang didasarkan pada gagasan inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau tentang peran stereotip untuk pria dan wanita.
  • Kekerasan terhadap anak mencakup segala bentuk perlakuan sewenang- wenang secara fisik dan/atau emosional, pelecehan seksual, penelantaran atau kelalaian, dan eksploitasi komersial atau lainnya yang membahayakan atau menimbulkan kemungkinan bahaya terhadap kesehatan, kelangsungan hidup, perkembangan, atau martabat anak.
  • Bahwa kekerasan terhadap anak dapat terjadi dalam banyak cara, meliputi:
    1. Kekerasan fisik, yang mencakup tindakan pelaksana proyek yang memukul seorang anak saat bekerja sebagai bentuk kontrol atau hukuman.
    2. Pelecehan seksual, yang mencakup aktivitas seksual dengan anak di bawah 18 tahun. Kategori ini juga meliputi tindakan dari pelaksana proyek yang meminta anak untuk melakukan aktivitas seks maupun tindakan pelaksana proyek mengunduh gambar kekerasan seksual terhadap anak pada gawai mereka.
    3. Eksploitasi komersial, yang mencakup tindakan pelaksana proyek melakukan eksploitasi seksual yang bersifat komersial terhadap anak. Misalnya, pelaksana proyek memfasilitasi terjadinya pelecehan seksual. Eksploitasi komersial juga dapat terjadi secara tidak langsung, contohnya ketika Lembaga menggunakan anak-anak sebagai promotor tak berbayar untuk konten komersial dan viral yang dibagikan kepada publik.
    4. Kekerasan daring, yang mencakup tindakan menggoda atau merundung (bullying) lewat media daring, paparan terhadap konten atau persinggungan yang tidak pantas melalui, misalnya, ruang obrolan daring atau video games, atau perlindungan data yang tidak memadai.
    5. Kekerasan emosional atau perlakuan sewenang-wenang, misalnya, ketika pelaksana proyek membuat pernyataan yang menyakitkan atau diskriminatif terhadap seorang anak.
    6. Penelantaran, yang mencakup pengasuhan atau pengawasan yang tidak memadai, seperti tidak memberi akses perawatan medis kepada anak ketika dibutuhkan.
Kebijakan
  • Proyek ini dilarang mempekerjakan anak-anak kecil belum usia produktif kerja.
  • HuMa tidak akan mendanai dan/atau melaksanakan proyek yang turut serta dalam berbagai bentuk perdagangan, eksploitasi, dan kekerasan terhadap perempuan.
  • Lembaga tidak akan mendanai pelaksanaan proyek yang tidak mengakomodir kepentingan perlindungan perempuan, anak, dan kelompok minoritas rentan lain.
Persyaratan
  1. Sebelum melaksanakan proyek, HuMa wajib melaksanakan asesmen gender (dokumen terpisah).
  2. Dalam pelaksanaan proyek, lembaga maupun pelaksana proyek yang berinteraksi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perempuan dan/atau anak-anak memiliki tanggung jawab hukum dan moral untuk melakukan segala hal demi melindungi anak dari bahaya.
  3. Lembaga maupun pelaksana proyek tidak diperbolehkan melakukan tindakan kekerasan atau tindakan yang berakibat bahaya terhadap perempuan dan/atau anak-anak dalam bentuk apa pun.
  4. Setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan dan/atau anak-anak yang terjadi dalam pelaksanaan proyek, merupakan perbuatan yang tidak dapat ditoleransi dengan alasan apapun.
  5. Dalam hal terjadi kekerasan terhadap perempuan dan/atau anak-anak dalam pelaksanaan proyek, Lembaga dan pelaksana proyek wajib untuk memberikan perlindungan dan pemulihan hak terhadap korban kekerasan.
  6. Dalam hal pelaksanaan proyek melibatkan anak-anak, maka Lembaga dan pelaksana proyek memiliki kewajiban untuk melindungi dan memenuhi hak anak sebagaimana telah diatur baik dalam ketentuan nasional maupun internasional.
  7. Memberikan pelatihan gender dasar bagi tim proyek untuk mengeksplorasi dimensi gender proyek. Menganggarkan sejumlah dana dalam proyek yang dialokasikan untuk kegiatan dan/atau pelatihan gender.
  8. Dalam pelaksanaan proyek, setiap pengambilan keputusan khususnya dapat berakibat pada kehidupan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung, wajib memasukkan, melibatkan, dan mempertimbangkan suara perempuan dalam pengambilan keputusan.
  9. Dalam pelaksanaan proyek, mulai dari perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan monitoring dan evaluasi, dalam hal melakukan penyampaian informasi dan pelaksanaan konsultasi, pelaksana proyek wajib menjangkau seluruh kelompok masyarakat secara representatif, inklusif dan partisipatif. Khususnya untuk kelompok perempuan perlu mendapat perhatian tersendiri dan perlu memastikan partisipasi perempuan dalam pelaksanaan penyampaian informasi dan konsultasi, serta tidak dibenarkan informasi dan perundingan dilakukan hanya dengan satu-dua orang saja meskipun yang bersangkutan merupakan pemimpin desa/komunitas.
  10. Dalam hal memenuhi partisipasi dan keterbukaan informasi bagi perempuan, Lembaga dan pelaksana proyek wajib untuk merencanakan dan menyediakan langkah-langkah khusus untuk memastikan perempuan mendapatkan akses untuk informasi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hidupnya.
  11. Dalam konsultasi pelaksana proyek mengadakan sesi diskusi khusus yang terpisah bagi kelompok perempuan dan anak-anak dari pemangku kepentingan lain, dengan melibatkan ahli, untuk menggali kepentingan dari kelompok perempuan dan anak-anak, dampak proyek terhadap mereka, dan bagaimana proyek ini dapat bermanfaat bagi kelompok tersebut.
  12. Konsultasi didokumentasikan dengan izin kelompok yang bersangkutan, dan jika diperkenankan dirumuskan dalam kesepakatan tertulis sebagai komitmen pelaksana proyek.
  13. Lembaga dan pelaksana proyek wajib menyediakan dan memfasilitasi ruang yang aman bagi perempuan untuk mendiskusikan dan melakukan pertemuan sebelum proses pengambilan keputusan, dengan memastikan bahwa perempuan memiliki pemahaman yang sama terhadap informasi yang diterima; serta mengintegrasikan pandangan, pengetahuan dan pengalaman perempuan sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Terutama untuk memastikan perempuan mendapatkan akses, kontrol dan manfaat yang sama melalui setiap pelaksanaan proyek.
  14. Terhadap perempuan yang terlibat dalam pelaksanaan proyek, diberikan hak dan perlindungan yang sama sebagaimana telah disebutkan dalam Policy 6, berhak memperoleh jaminan perlindungan kesehatan dan keselamatan dalam kondisi kerja, termasuk perlindungan fungsi reproduksi, serta mendapatkan perlindungan khusus begi perempuan selama hamil dalam jenis pekerjaan yang terbukti merugikan mereka.
  15. Dalam pelaksanaan proyek tidak diperbolehkan adanya tindakan dalam bentuk apapun dengan akibat hukum yang ditujukan untuk membatasi kapasitas hukum perempuan dan berakibat pada terjadinya diskriminasi dan peminggiran hak perempuan sebagaimana yang telah diberikan dalam berbagai ketentuan peraturan internasional maupun peraturan nasional.
  16. Dalam memperhitungkan situasi, resiko, dan dampak yang akan terjadi dari pelaksanaan proyek, pelaksana proyek juga harus melakukan analisis dengan pemisahan gender (gender differentiated analysis) dengan mempertimbangkan situasi sosial, ekonomi, politik dan budaya perempuan serta kepentingan dan kebutuhan khusus perempuan.
  17. Dalam pelaksanaan proyek, Lembaga wajib memfasilitasi penyelenggaraan kegiatan yang bertujuan untuk peningkatan kapasitas dan pemahaman mengenai gender bagi semua pelaksana proyek dan sebisa mungkin juga bagi masyarakat yang terlibat maupun yang terdampak dari dilaksanakannya proyek, misalnya dengan setidak-tidaknya menyediakan panduan atau acuan dalam memastikan prinsip inklusif, sensitif dan responsif gender.
  18. Apabila diperlukan pertemuan atau kegiatan terpisah untuk memungkinkan perempuan atau anak-anak mengenal dan memahami isu-isu yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek yang berdampak pada kehidupan mereka, maka Lembaga atau pelaksana proyek wajib untuk memfasilitasi pertemuan tersebut.
  19. Mempertimbangkan bahwa salah satu penghalang utama partisipasi perempuan dan anak-anak mungkin adalah kurangnya izin dari anggota keluarga laki-laki. Jika demikian, pastikan untuk berkonsultasi dengan laki- laki di komunitas agar mereka memahami mengapa partisipasi perempuan sangat penting dan libatkan mereka dalam mendukung partisipasi perempuan.