#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

HuMaVoice#7 – Hampir 8 Windu Negara Abai atas Tanah Ulayat

Belum lama, HuMa mendapatkan kabar, telah terjadi penangkapan Sorbatua Siallagan selaku ketua Masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, pada Jumat, 22 Maret 2024. PT Toba Pulp Lestari melaporkan Sorbatua atas tuduhan merusak, menebang, dan membakar hutan konsesi yang tumpang tindih dengan wilayah adat (lihat: bbc.com).

Masih sama, peristiwa penangkapan masyarakat hukum adat juga pernah terjadi pada 17 Januari 2020.  Farida salah seorang perempuan dari Masyarakat Hukum Adat Malalo Tigo Jurai, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Farida menempati tanah adat atas persetujuan ninik mamak dan kaumnya. Namun, ia dilaporkan ke Polisi oleh pihak perusahaan yang mengaku memiliki sertifikat di tanah tersebut (lihat: huma.or.id).

Kedua peristiwa kriminalisasi di atas menambah deretan panjang konflik yang menimpa masyarakat hukum adat. Sebelumnya, berdasarkan data Humawin telah mencatat sebanyak 360 konflik terjadi (lihat: humawin.or.id). Juga, data tanahkita.id mencatat sejak tahun 1988-2024 terjadi 562 kasus menimpa masyarakat hukum adat (lihat: tanahkita.id).

Penguasaan dan pengelolaan wilayah adat oleh masyarakat hukum adat kerap kali dibenturkan dengan persoalan kepastian hukum (legalitas). Kondisi ini menggambarkan bagaimana begitu rentannya nasib masyarakat hukum adat dalam menguasai dan mengelola wilayahnya. Hal ini diperparah dengan ketiadaan aturan khusus mengenai masyarakat hukum adat. Akibatnya apa? begitu langgengnya pelanggaran hak-hak masyarakat hukum adat.

Kini, sedang hangat diperbincangkan, salah satu bagian persoalan yang menimpa masyarakat hukum adat, yakni mengenai kepastian hukum Tanah Ulayat. Selama ini, hanya ada dua lokasi yang sudah mendapatkan penetapan Tanah Ulayat di Indonesia yakni di lokasi Kampung Baduy, Banten dan Kampung Naga, Tasikmalaya.

Perjalanan terhadap penetapan Tanah Ulayat tidak mudah. Hal ini juga disampaikan oleh Iskandar Syah selaku Direktur Pengaturan Tanah Komunal, Hubungan Kelembagaan dan PPAT, Kementerian ATR/BPN mengungkap:

Pengaturan tentang Tanah Ulayat sama sekali belum optimal, karena belum ada data komprehensif tentang keberadaan Tanah Ulayat, dan belum ada tata cara untuk menentukan Tanah Ulayat” katanya dalam sesi Webinar GTRA Summit 2023 “Mewujudkan Kepastian Hukum dan Pemenuhan Hak Masyarakat Hukum Adat” pada 7 Agustus 2023 diselenggarakan oleh HuMa dan organisasi lainnya bersama Kementerian ATR/BPN.

Pasca kegiatan webinar GTRA Summit 2023, HuMa konsisten mengawal munculnya pengaturan khusus mengenai Tanah Ulayat. Agung Wibowo selaku Koordinator Eksekutif HuMa dalam sambutannya menceritakan, HuMa pernah diundang oleh Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang, pada Rabu, 7 Juni 2023. Hadir pula dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Pertemuan membedah terkait regulasi tentang penatausahaan Tanah Ulayat untuk merevisi Peraturan Menteri No. 18 Tahun 2019.

Kami sebenarnya meminta atau menunggu draft final. Atau draft yang bisa kami sirkulasikan kepada teman-teman yang ada di komunitas masyarakat adat dan Pendamping Hukum Rakyat. Tetapi sampai hari ini memang draftnya belum kita terima. Baru beberapa pekan lalu terbit Permen ATR/BPN No. 14 Tahun 2024” kata Agung saat sesi sambutan HuMaVoice pada 15 Maret 2024.

Selang delapan bulan, setelah pertemuan dengan Wakil Menteri ATR/BPN, tepatnya pada 27 Februari 2024, Agus Harimurti Yudhoyono selaku Menteri ATR/BPN mengeluarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 14 tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Aturan ini ‘dianggap’ sebagai aturan yang mengakomodir hak-hak masyarakat hukum adat atas penguasaan dan pengelolaan wilayah ulayatnya.

HuMa merespon kemunculan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan mengadakan diskusi publik melalui platform HuMaVoice (yang merupakan kegiatan diskusi rutin setiap bulan).

Bertempat di Kantor HuMa Co-Working Space, pada Jum’at, 15 Maret 2024, bertajuk “Penantian Tanah Ulayat.” HuMa mengundang dua narasumber yakni Raja Juli Antoni selaku Wakil Menteri ATR/BPN yang diwakilkan oleh Dr. M. Adli Abdullah, S.H., M.C.L selaku dosen fakultas hukum di Universitas Syah Kuala sekaligus sebagai Tenaga Ahli Menteri dan Dr. Yance Arizona, S.H., M.H., M.A selaku Dosen Fakultas Hukum UGM dan Anggota HuMa.

Pengaturan Tanah Ulayat dari Masa ke Masa

Pertama, hak ulayat pertama kali diatur dengan Pasal 3 Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menyebut “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”

Kedua, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Itu pun, pengaturan Tanah Ulayat hanya berisi tujuh pasal. Pada bagian Ketentuan Umum Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, mendefinisikan hak ulayat sebagai:

Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.”

Selanjutnya, pengaturan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, memuat pelaksanaan penguasaan Tanah Ulayat yang berisi formalitas pengakuan seperti pada Pasal 2 Ayat (1) yang menyatakan, “Pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat.” Penetapan Tanah Ulayat sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah.

Yance menerangkan, kemunculan mengenai Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, cukup lama dinanti. Sebab hak ulayat sudah diakui melalui Undang-Undang Pokok Agraria pada tahun 1960. Selama 39 tahun kemudian, baru muncul peraturan operasionalnya.

Itu menunjukkan bahwa pemerintah sudah lama sekali abai dengan hak ulayat. Sampai hampir 4 dekade tidak mengurus hak ulayat. Baru tahun 1999, setelah ada protes besar dari masyarakat adat.

Ketiga, selang 16 tahun kemudian, baru muncul kembali ketentuan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 9 tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu. Pengaturan ini memfokuskan pada Hak Komunal atas Tanah atau Hak Milik Bersama atas tanah suatu masyarakat hukum adat atau hak milik bersama atas tanah yang diberikan kepada masyarakat yang berada dalam kawasan hutan atau perkebunan. Keempat, ketentuan ini dicabut dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 10 tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu.

Berikutnya, kelima, muncul Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 18 tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Kurnia Warman dalam paparan Werbinar GTRA Summit 2023 (lihat: huma.or.id) memberikan empat catatan terhadap Peraturan Menteri ini yakni pertama, pemerintah pasif dan persyaratan berat sehingga sulit untuk ditindaklanjuti,

Kedua, adanya kehendak Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah yang menghendaki Hak Pengelolaan dapat berasal dari Tanah Ulayat sehingga diperlukan penentuan terhadap subyek, obyek dan hubungan hukum. Ketiga, belum detailnya tahapan penatausahaan Tanah Ulayat sehingga perlu penambahan metode salah satunya Inventarisasi Tanah Ulayat, termasuk Tanah Komunal. Keempat, belum diaturnya pengaturan soal tanah komunal dan tata cara pengadministrasiannya.

Kondisi banyaknya aturan berbanding terbalik dengan pencapaian yang sudah ada. Yance Arizona menilai pencapaian Kementerian ATR/BPN masih di bawah dari Kementerian lain seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Ia menyatakan, masalahnya bukan hanya pada tataran implementasi, melainkan bisa jadi regulasinya bermasalah.

“Artinya Peraturan Menteri yang dibuat itu tidak cocok, tidak sesuai dengan realita yang ditemukan di lapangan sehingga tidak ketemu, ketika menyusun peraturan, itu beranjak dari asumsi dari penyelenggara negara bukan dari kebutuhan di dalam masyarakat.”

Terakhir, keenam, muncul Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Sebagai aturan yang berangkat dari kekurangan aturan sebelumnya, penyusunannya melalui proses panjang.

Yance yang juga sebagai tim penyusun Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat menceritakan proses penyusunan. Permen ini disusun berdasarkan hasil riset dari kegiatan identifikasi dan inventarisasi yang dilakukan oleh beberapa kampus Universitas Cendrawasih, Universitas Hasanuddin, Universitas Gadjah Mada, Universitas Andalas, Universitas Syiah Kuala.

Terdapat 16 Provinsi yang menjadi lokasi identifikasi dan inventarisasi yakni Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Bali, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, dan Papua dilaksanakan pada 2021, Sumatera Utara dan Sulawesi Tengah dilaksanakan pada tahun 2022 dan Aceh, Kepulauan Riau, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan dilaksanakan pada 2023 (materi presentasi Adli).

Hasil Identifikasi dan inventarisasi Tanah Ulayat di Indonesia yang dipresentasikan dengan luas provinsi yakni Bali (-), Nusa Tenggara Timur (-), Kalimantan Tengah 0,94%, Sumatera Barat 8,38%, Papua (-), Papua Barat (-), Sumatera Utara 2,52%, Sulawesi Tengah 0,26%, Kalimantan Timur 16,34%, Kalimantan Selatan 4,54%, Riau 4,85%, Sumatera Selatan 0,51%, Jambi 2,45%, Kalimantan Barat 0,05%, Aceh 6,30%, dan Kepulauan Riau 0,03% (materi presentasi Adli).

Kemudian sudah ada enam sertifikat di Provinsi Sumatera Barat yakni KAN Sungai Kamuyang, Nagari Kamuyang, Kec. Luak seluas 1 bidang 371.095 m2, KAN Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang, Nagari Tanjung Haro Sikabu Kabu Padang Panjang, Kec. Luak seluas 2 bidang Luas 394.971 m2 dan 550.917 m2, di Kabupaten Lima Puluh Kota, KAN Sungayang, Nagari Sungayang, Kec. Lintau Buo Utara di Tanah Datar seluas 3 bidang, bidang 1 55.941 m2, Bidang 2 34.874 m2, Bidang 3 16.926 m2 (materi presentasi Adli).

Wilayah lain, terdapat tiga sertifikat di Provinsi Papua yakni MHA Sawoi Hnya, Kampung Sawoi, Distrik Kemtuk Gresi seluas 3 bidang, bidang 1 seluas 48.380 m2, bidang 2 seluas 16.470 m2, dan bidang 3 seluas 5.127 m2 (materi presentasi Adli).

Kemudian dijadikan materi untuk menyusun rancangan peraturan menteri ini dan juga dibikin naskah akademiknya. Jadi tidak hanya membuat naskah peraturannya tetapi juga dibuat naskah akademiknya.”

Hal Baru dalam Substansi Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 Tahun 2024

Yance menjelaskan ada beberapa hal baru di dalam Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 Tahun 2024, antara lain pada aspek subjek, objek dan proses pengadministrasian Tanah Ulayat.

Selama ini, subjek masyarakat hukum adat diasumsikan sebagai subjek tunggal. Semisal subjek Nagari di Sumatera Barat dan Desa Adat di Bali. Pada peraturan menteri yang baru, membaginya menjadi dua yakni Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan Kelompok Anggota Masyarakat Hukum Adat.

Pasal 2 Ayat (4) Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat menyatakan, “Karakteristik masyarakat hukum adat sebagaimana pada ayat (3) dibedakan dalam:

  1. Kesatuan masyarakat hukum adat; atau
  2. Kelompok anggota masyarakat hukum adat.”

Yance memaparkan, jika kelompok anggota masyarakat hukum adat sebenarnya untuk mengakomodasi masyarakat yang genealogisnya berkelompok. Bukan teritorial seperti desa, nagari dan mukim maupun seperti marga di Sumatera Utara, Kaum, Klan, dan sebagainya sesuai penyebutan di berbagai tempat.

Jadi Peraturan Menteri ini memperluas subjek itu” kata Yance.

Selanjutnya, subjek masyarakat hukum adat, tidak harus melalui mekanisme pengakuan sebelum kegiatan pengadministrasian Tanah Ulayat berjalan. Karena hanya pada tahap pendaftaran Tanah Ulayat.

Yance membandingkan dengan prosedur penetapan hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang praktiknya, harus ada terlebih dahulu peraturan daerah atau surat keputusan sebagai salah satu syarat.

Kalau misalkan sudah ditata batas, diketemukan dan didaftarkan, bisa menjadi dasar untuk produk hukum pengakuannya dibuat.”

Secara prosedur, peraturan daerah ataupun surat keputusan diperlukan sebagai syarat pendaftaran Hak Pengelolaan oleh Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Sementara, untuk Kelompok Anggota Masyarakat Hukum Adat memerlukan rekomendasi dari pemerintah daerah untuk melakukan permohonan Hak Milik Bersama.

Hal baru yang lain mengenai objek. Objek yang ada pada Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yakni mengenai Tanah Ulayat bukan wilayah adat. Bahwa Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang dikuasai atau dimiliki oleh masyarakat adat yang di atasnya tidak ada hak atas tanah yang lain.

Yance menyebut identifikasi dan inventarisasi Kementerian ATR/BPN bersama dengan beberapa kampus menghasilkan jumlah luasan Tanah Ulayat yang tidak begitu besar. Hal ini menyesuaikan pendefinisian Tanah Ulayat. Tanah Ulayat adalah bidang tanah milik nagari yang di dalamnya tidak ada hak orang lain, tidak ada tanah kaum dan tidak ada tanah individu.

Kemudian, hal baru lagi yakni proses pengadministrasian Tanah Ulayat. Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat mengatur dua proses. Proses pengadministrasian Tanah Ulayat dan proses pendaftaran Tanah Ulayat.

Pertama, pengadministrasian Tanah Ulayat sebagai upaya untuk mencatatkan di dalam daftar tanah. Pencatatan daftar tanah tidak menerbitkan dalam bentuk sertifikat melainkan dalam bentuk salinan. Bentuknya sebagaimana ada di dalam lampiran pada Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Ketika dia sudah selesai didaftarkan di dalam daftar tanah, (hal itu) sudah memiliki kekuatan hukum. Sudah bisa dijadikan sebagai pegangan untuk bekerja sama dengan pihak lain.”

Kemudian, setelah didaftarkan di dalam daftar tanah. Terdapat dua opsi model ketika akan dilakukan pendaftaran tanah. Pendaftaran sebagai Hak Pengelolaan untuk Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan Hak Milik Bersama untuk Kelompok Anggota Masyarakat Hukum Adat.

Keterbatasan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 tahun 2024

Sebagai pembuka HuMaVoice#7, Agung Wibowo mempertanyakan beberapa hal atas terbitnya Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 Tahun 2024. Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 Tahun 2024 memberikan sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) terhadap hak yang sebenarnya diatur di dalam Undang-Undang Pokok Agraria yaitu hak Tanah Ulayat. Apakah konteks HPL tepat digunakan di dalam Tanah Ulayat?, tanya Agung.

Yance juga menyampaikan hal yang sama. Bahwa pendaftaran Hak Pengelolaan problematik. Tim penyusun berdebat karena menilai hak pengelolaan bukan hak atas tanah. “Ketika menerbitkan sertifikat untuk HPL, itu (adalah) sesuatu yang tidak tepat.”

Lantas mengapa Tanah Ulayat didaftarkan sebagai HPL? kenapa bukan Hak Milik saja?, tanya Yance. Kalau misalkan itu mau didaftarkan dan itu beranjak dari asumsi yang masih kuat, sampai hari ini, menilai bahwa Tanah Ulayat dan Hak Ulayat itu bukan Hak Atas Tanah. Ketika dia dianggap sebagai bukan Hak Atas Tanah, dia (Tanah Ulayat atau Hak Ulayat) itu tidak perlu didaftarkan.

Hal yang perlu kita diskusikan dalam jangka panjang tentang bagaimana sebenarnya kita memposisikan Tanah Ulayat maupun Hak Ulayat ini: apakah dia sebagai Hak Atas Tanah atau tidak?. UUPA tidak menyebutnya sebagai Hak Atas Tanah. UUPA menyebut Hak Atas Tanah itu dalam pasal 16 UUPA–Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai.”

Tanah Ulayat tidak termasuk sebagai Hak Atas Tanah. Ketika ia (dianggap) tidak (berfungsi) sebagai Hak Atas Tanah, maka tidak perlu didaftarkan. Tidak perlu juga dikeluarkan sertifikatnya. Namun, apakah hal tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat?.

Jangan-jangan masyarakat punya makna tentang Hak Ulayat itu sudah berbeda. Apa lagi, kalau kita lihat Hak Ulayat itu mestinya juga dimaknai sebagai Hak Tradisional–sebagaimana dimaksud dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945” terang Yance

Yance menjelaskan, konsepsi awal dari bahasa Belanda yang kemudian diterjemahkan sebagai Hak Ulayat. Terdapat beberapa makna. Pertama, sebagai Hak Ulayat bukan Tanah Ulayat. Sebagai Hak Ulayat yang memiliki kewenangan mengatur tanah milik masyarakat dalam satu komunitas. Hak Ulayat sebagai tata cara dalam mengatur. Kedua, makna Hak Ulayat sebagai wilayah atau sebagai bidang tanah.

Permen ini, mengatur tentang bidang Tanah Ulayat, jadi di awal kita mesti memahami keterbatasan Permen ini untuk mengakomodasi advokasi yang pendekatannya wilayah, itu yang kedua subjek dan objek.”

Keterbatasan berikutnya, Agung menegaskan, pada pasal 7 Ayat (4) huruf b Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 Tahun 2024, yang menyebut “memastikan Tanah Ulayat tidak dalam keadaan sengketa, konflik, dan/atau perkara.” Artinya, harus clear and clean atau tidak ada konflik mengenai penetapan Tanah Ulayat.

Justru teman-teman komunitas yang ada di kampung, ketika mengusulkan Tanah Ulayat adalah bagian dari resolusi konflik yang sedang mereka hadapi. Sebab, di sana ada tanah-tanah Hak Guna Usaha (HGU), ada tanah-tanah perizinan korporasi lainnya, yang seharusnya ini juga bisa diselesaikan di dalam Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 Tahun 2024,” tutur Agung.

Yance membenarkan, terdapat persoalan pengecualian. Sebab, Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 Tahun 2024 menggunakan pendekatan administrasi pertanahan. Logika administrasi harus clean and clear. Hal ini menjadi keterbatasan sebab banyak terjadi konflik, terutama dengan kawasan hutan. Kalau itu yang terjadi, proses administrasi tidak akan bisa berjalan.

Ketika ada konflik, (perlu) menunggu konflik tersebut selesai sehingga administrasi pertanahan bisa bekerja.” Ucap Yance.

Selanjutnya, keterbatasan ada pada Tanah Ulayat sebagai HPL cukup kuat. Bahkan bisa menjadi tantangan bagi masyarakat. Hal itu bermula dari PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang HPL sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Cipta Kerja. Padahal UU Cipta Kerja tidak membuka peluang HPL bisa diberikan di atas Tanah Ulayat, tetapi PP 18 2021 membuka peluang supaya Hak Ulayat bisa diberikan HPL.

Sejauh mana itu cocok? kita mesti cek di lapangan. Mungkin bisa teman-teman yang sudah punya pengalaman di daerah-di beberapa tempat ini kan sudah ada project-nya di Sumatera Barat, di Papua, dan (yang lainnya yang) sedang berlangsung juga–mungkin bisa memberikan catatan” pungkas Yance.

Penulis:

Firda Amalia Putri

Wahidul Halim

Editor:

Erwin Dwi Kristianto

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.