#hukumuntukrakyat

Ikuti Kami

Pertegas Kewenangan Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Jakarta, 11 Februari 2016 – Diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (atau UU Pemda) dapat menyebabkan beberapa ketidakpastian hukum dalam pengelolaan sumber daya alam, sehubungan dengan bagaimana pembagian kewenangan fungsi dalam hukum antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten.

Asep Yunan menyatakan UU No. 23 Tahun 2014 merupakan resentralisasi kewenangan dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Asep Yunan adalah peneliti Perkumpulan HuMa yang melakukan kajian Legal Review UU No. 23 Tahun 2014. “Kajian ini dilakukan karena di Indonesia jika berbicara SDA, isu-isu desentralisasi selalu menguat, sebagian besar wewenang pengelolaan sumber daya alam akan berpindah dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi,” papar Asep Yunan. UU Pemda muncul justru ketika pengelolaan sumber daya di tingkat kabupaten/kota karut-marut. Oleh karena itu posisi sektoral yang strategis dipertanyakan. Bagaimana wewenang pengelolaan sumber daya alam dipindah dari pemerintahan daerah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi. “Pemerintah perlu memastikan pelayanan dengan pasti bagi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam terkait implementasi UU Pemda ini,” pesan Asep.

Joni Purba dari Kasubdit Pengakuan Hutan Adat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menanggapi sekiranya wewenang daerah masih penting untuk diberikan, terutama terkait dengan perhutanan sosial. “Saya kira sudah cukup hanya penekanan bahwa pengakuan hutan adat ada di tangan pemerintah daerah, karena prasyarat pengakuan hutan adat adanya pengakuan masyarakat hukum,” tutur Joni Purba.

“Nasib hutan adat harusnya ada di pemerintah daerah, kinerja kami di pusat tidak akan ada artinya jika tidak ada itikad baik dari pemerintah daerah.” Tambah Joni Purba. Joni Purba juga memberi contoh mengenai kesuksesan perjuangan masyarakat adat di Kajang dalam memperoleh Hutan Adat dapat terjadi karena pemerintah daerah menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kajang. Penting pula kita merujuk pada peraturan di sektor lain, atau peraturan menteri lain, yang lebih progresif memberi hak pengelolaan kepada masyarakat terkait sumber daya alam.

Masalah lainnya misalnya, disampaikan oleh Adam Kurniawan dari Balang Institute di waktu lain (16/12/2015), menurutnya ini akan memperkeruh proses advokasi masyarakat dalam mengelola sumber daya alam yang kini telah berjalan di tingkat kabupaten. UU ini kemudian dirancang untuk menarik kembali kewenangan pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi (sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat), terutama di sektor kehutanan, kelautan, dan perikanan, demi mencapai efektivitas maupun efisiensi kerja. “Ini dapat meningkatkan eskalasi konflik agraria di daerah yang mengancam lahan hidup rakyat,” tegas Adam.

Dari diskusi dan kajian yang telah dilakukan, Perkumpulan HuMa merekomendasikan beberapa hal terkait implementasi UU No. 23 Tahun 2014 terkait pengelolaan sumber daya alam bagi masyarakat. Pertama, merevisi UU Kehutanan untuk menyesuaikan dengan pengaturan desentralisasi bidang kehutanan yang terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2014. Di level regulasi perlu penegasan ulang pembagian kewenangan di bidang kehutanan dan sub-bidang kehutanan seperti yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 dengan cara membuat pasal tersendiri. Perlu ada perubahan redaksi pengaturan tentang kewenangan pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, yaitu dengan menentukan bahwa kewenangannya ada pada provinsi dan kabupaten/kota. Ketentuan seperti itu akan mengakhiri silang tafsir mengenai istilah ‘peraturan daerah’ yang terdapat dalam Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan. Bahwa pengaturan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat tidak diatur lebih lanjut dengan cara penerbitan PP tersendiri, akan tetapi cukup dengan menyatakan ‘mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku’.

Kedua, dengan beralihnya titik berat otonomi daerah dari kabupaten/kota ke provinsi, termasuk dalam bidang pengelolaan sumber daya alam, pasca pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2014, diperlukan asistensi kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Dalam hal ini pemerintah provinsi perlu melakukan keperluan-keperluan penyusunan rancangan organisasi perangkat daerah, yang menyesuaikan dengan kewenangan yang baru, dan didasarkan pada semangat efisiensi, efektivitas, dan berbasis kebutuhan. Penataan distribusi sumber daya manusia, terutama yang sebelumnya menjadi pegawai pemerintah kabupaten/kota. Perancangan sistem database sebagai hasil dari penggabungan database tingkat kabupaten/kota dengan provinsi. Pembuatan regulasi yang mengatur mengenai penyelenggaraan kewenangan dan organisasi perangkat daerah.

Bagi pemerintah kabupaten/kota perlu mengidentifikasi kewenangan-kewenangan atributif dalam bidang pengelolaan sumber daya alam. Sehingga ke depan perlu penyusunan rancangan organisasi perangkat daerah dengan menyesuaikan pada pengurangan kewenangan secara signfikan pasca pemberlakuan No. 23 Tahun 2014. Perlu penataan distribusi sumber daya manusia pasca pembubaran atau penyederhanaan SKPD-SKPD yang mengurus bidang kehutanan. Perlu juga pembuatan regulasi yang mengatur penyelenggaraan kewenangan pengelolaan SDA yang didasarkan pada kewenangan atributif dan regulasi mengenai organisasi perangkat daerah [.]

 

Contact Person:

Peneliti Perkumpulan HuMa                             : Asep Yunan Firdaus (08158791019)

Kasubdit Pengakuan Hutan Adat, KLHK       : Joni Purba (082146655252)

Perkumpulan HuMa                                           : Agung Wibowo (081281140154)

 

0 Komentar

Loading...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Form bertanda * harus diisi.